Rabu, 11 Februari 2009

Artikel

PROPAGANDA POLITIK MELALUI PAKAIAN
oleh Maharromiyati, S. Pd

Pakaian dipandang memiliki suatu fungsi komunikatif. Busana, pakaian, kostum, dan dandanan adalah bentuk komunikasi artifaktual (artifactual communication). Pakaian dirancang untuk merayakan bentuk tubuh manusia yang alami, suatu tanda yang kontras dengan abad kesembilan belas ketika pakaian dirancang untuk menyembunyikan tubuh. Pakaian merupakan bagian dari budaya materi yang bisa berbicara dan bermakna. Ketika bertemu orang pertama kali tentu yang akan kita lihat adalah penampilan fisiknya salah satunya melalui apa yang ia pakai. Pakaian menjadi pijakan awal untuk berinteraksi dengan pembentukan kesan, pernyataan identitas, dan idiologi seseorang.

Pakaian berperan besar dalam menentukan citra seseorang. Lebih dari pada itu pakaian adalah cermin dari identitas, status, hierarki, gender, memiliki nilai simbolik dan merupakan ekspresi cara hidup tertentu. Pakaian juga mencerminkan sejarah, hubungan kekuasaan, serta perbedaan dalam pandangan sosial, politik dan religius. Melalui pakaian juga proses diskriminasi dan hegemoni berlangsung. Sejak masa kolonial, Belanda dengan sengaja memolitisasi pakaian, membedakan antara orang yang berkulit putih dan orang pribumi serta antara orang pribumi satu dengan yang lain. Setiap suku wajib mengenakan pakaian sukunya masing-masing yang tinggal di daerah tertentu. Dengan aturan yang rumit, mereka tidak diizinkan bertempat tinggal di luar daerah yang telah ditentukan oleh penguasa Belanda. Pakaian orang-orang Belanda menjadi sesuatu yang terlarang dikenakan oleh orang pribumi. Pakaian golongan ningrat tentu tidak diperkenankan dipakai oleh rakyat jelata. Pada masa yang lebih baru, pakaian yang digunakan oleh pemerintah Indonesia yang sedang berkuasa untuk mengontrol kekuasaannya, melalui seragam.
Arti penting pakaian dalam konteks sosial menjadi jelas apabila kita mencoba membayangkan bagaimana jalan atau ruangan akan tampak jika orang-orang yang ada di sana dalam keadaan telanjang. Mereka akan kehilangan penampilan akrab mereka dan dengan demikian akan kehilangan sebagian besar identitas mereka. Dengan kata lain pakaian adalah kulit sosial dan kebudayaan. Pakaian dapat dilihat sebagai “perpanjangan tubuh, namun bukan benar-benar bagian dari tubuh yang tidak saja menghubungkan tubuh dengan dunia sosial, tetapi juga memisahkan keduanya.
Pakaian merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena saat memilih pakaian, baik di toko atau di rumah, berarti mendefinisikan dan mendeskripsikan diri. Ini tentu saja tidak berlaku bila dipaksa untuk memakai seragam karena tipe pakaian ini jelas-jelas dimaksudkan untuk mengurangi individualitas sebanyak mungkin demi memaksakan identitas kolektif.
Pakaian yang dipakai bisa menampilkan berbagai fungsi, sebagai bentuk komunikasi, pakaian bisa menyampaikan pesan artifaktual yang bersifat non verbal. Pakaian bisa melindungi dari cuaca yang buruk atau dalam olahraga tertentu dari kemungkinan cidera. Pakaian juga membantu menyembunyikan bagian-bagian tertentu dari tubuh, dan pakaian juga memiliki fungsi kesopanan (modesty fuction). Selain itu, menurut J.G Taylor dalam setiap era penampilan tubuh manusia melalui pakaian, dandanan, dan tingkah laku membuat pernyataan yang kuat tentang kelas, status, dan gender. Perubahan-perubahan dalam penampilan tubuh tersebut memberikan petunjuk bagi transformasi sosial budaya.
Pakaian yang dikenakan membuat pernyataan yang dalam dirinya ada pernyataan yang sayangnya sudah menjadi klise. Fashion dan pakaian sebagai komunikasi, apakah fenomena kultural dalam budaya bisa dipahami oleh budaya sendiri sebagai sistem penandaan, seperti cara pengalaman masyarakat, nilai-nilai dan keyakinan dikomunikasikan melalui praktik-praktik, artefak-artefak dan institusi-institusi.
Meskipun Davis memandang pernyataan bahwa pakaian yang dikenakan membuat pernyataan sudah menjadi klise, tentu saja secara harfiah tidaklah benar, fashion dan pakaian adalah bentuk komunikasi nonverbal karena tidak menggunakan kata-kata lisan atau tertulis. Tidaklah sulit untuk memahami bahwa meski garmen diungkapkan dalam kata-kata seperti merk atau slogan, di sana tetap saja ada level komunikasi nonverbal yang memperkuat makna harfiah slogan atau merk tersebut. Manusia dapat berbicara melalui pakaiannya, pakaian untuk melakukan apa yang dilakukan dengan menggunakan kata-kata lisan dalam konteks lain sama juga bahasa busana yang berbeda, yang masing-masing memiliki kosakata dan tatabahasanya masing-masing. Fashion dan pakaian tidak tampil untuk terlibat dalam apapun dalam bentuk dialog.
Dalam artian fashion dan pakaian, model memiliki beberapa kekuatan yang langsung dan diketahui umum. Kiranya benar secara intuitif untuk menyatakan bahwa seseorang mengirim pesan tentang dirinya sendiri melalui fashion dan pakaian yang dipakainya. Berdasarkan pengalaman sehari-hari, pakaian dipilih sesuai dengan apa yang akan dilakukannya pada hari itu, bagaimana suasana hati seseorang, siapa yang akan ditemuinya dan seterusnya, tampaknya menegaskan bahwa fashion dan pakaian dipergunakan untuk mengirim pesan tentang diri seseorang pada orang lain. Namun ada sejumlah masalah pada model yang beranggapan umum tentang yang dimaksudkan oleh pemakaian garmen, namun perancangnya memiliki suatu yang ingin dinyatakan, yakni maksud perancang yang hendak disampaikan saat garmen dibuat untuk pertama kalinya. Pandangan bahwa pemakai dan perancang membentuk semacam pengirim peserta (cosender) memunculkan lebih banyak masalah ketimbang yang dipecahkannya, dalam proses yang disepakati untuk penyampaian maksud kiranya ada.
Sulit untuk memahami apa yang dimaksud dengan ide kegagalan komunikasi tatkala mengkaji fashion dan pakaian. Bisa ditegaskan bahwa, biarpun maksud perancang dan pemakaian tidak sampai pada penerima, penerimanya akan tetap mengolahnya untuk menkontruksi beberapa makna untuk garmen. Tampaknya tidak akan ada orang yang berfikir bahwa apa yang dipakai orang lain tidak bermakna.

Potensi kekerasan melalui seragam
Selama ini kita menganggap dengan seragam dapat mengatasi jurang pemisah antara si kaya dan si miskin. Para siswa dituntut untuk memakai seragam dengan alasan agar stratifikasi sosial tidak mencolok tetapi sialnya anggapan tersebut adalah sebuah kekeliruan. Siswa akhirnya dibentuk pemikirannya untuk selalu sama sehingga mereka tidak mengerti bagaimana mereka untuk menghargai orang lain. Seragam digunakan untuk melakukan kontrol oleh penguasa. Secara tidak langsung seragam merupakan bentuk pemaksaan agar orang lain bisa sama dengan apa yang ia mau. Kita sulit menghargai berbagai perbedaan yang ada karena telah dibentuk untuk selalu sama.
Banyak orang yang terancam nyawanya akibat pakaiannya. Misalnya ketika seseorang berpakaian lain dari kelompoknya bisa saja ia dibunuh dengan alasan yang tidak logis dan tidak berprikemanusiaan. Dengan alasan idiologi, agama yang tercermin lewat pakaian manusia jadi terkotak-kotak dan sulit untuk menghargai orang lain. Banyak manusia menjadi penipu dengan bersembunyi di balik pakaian. Dengan pakaian kita sering terkecoh tertipu oleh penampilan yang tampak dari luar. Dengan seragam kita sulit untuk memahami perbedaan yang ada pada orang lain. Kita lebih banyak bertindak berdasarkan apa yang menurut mayoritas sedangkan minoritas dibiarkan atau tersisih begitu saja. Memang di akui bahwa interaksi yang terjadi berdasarkan politik kepentingan dan kekuasaan. Adilkah kita menilai orang lain dari suatu yang hanya tampak dari luar.
Kita berdebat sepanjang waktu hanya untuk mempersoalkan sesuatu yang bisa diselesaikan dengan satu jawaban yaitu saling menghargai berbagai perbedaan yang ada. Keanekaragaman yang ada menjadikan kita semakin dewasa dan tidak egois karena dengan pemaksaan tidak menyelesaikan masalah malah membuat masalah. Kita sering mengklaim apa yang dianggap benar hanya dari perspektif kita tidak dari lawan bicara atau orang lain. Kalau orang lain tidak sama denga apa yang diyakini maka dengan mudah kita terkadang menjastifikasi dan memojokkan. Ingat Tuhan saja menciptakan keanekaragaman agar manusia dapat berfikir dan Tuhan tidak pernah memaksa manusia. Jadi mengapa manusia selalu sewot dengan penampilan orang lain dan senangnya memaksa orang lain. Oh manusia...mengapa kau sulit untuk dipahami?.


2 komentar: