Sabtu, 25 Juni 2011

Artikel


POLITIK PENCITRAAN KEPALA SEKOLAH DAN INTERVENSI
 PROSES EVALUASI BELAJAR
oleh Maharromiyati, S. Pd

Dunia pendidikan sebagai bagian sentral dari kemajuan suatu negara sehingga tidak bisa dipungkiri kemajuan suatu pendidikan akan menjadi perhatian khusus. Dalam realita di lapangan banyak hal-hal yang dilakukan oleh berbagai kalangan yang terlibat dalam pendidikan justru menodai dan bahkan meruntuhkan roh pendidikan. Salah satunya politik pencitraan kepala sekolah dan intervensi proses evaluasi belajar.
Kasus Bu Siami dan anaknya yang melaporkan kasus kecurangan yang dilakukan oleh kepala sekolah dan guru dengan mengajarkan anak-anak untuk menyontek massal sungguh menyedihkan. Bu Siami yang menginginkan tegaknya kejujuran justru harus mendapatkan perlakuan yang menyakitkan dari lingkungan tempat tinggalnya. Bu Siami dan keluarganya harus mengungsi karena mempertahankan prinsip kejujuran. Sungguh luar biasa disaat krisis pigur yang memiliki integritas kejujuran yang sangat sulit ditemukan sosok Bu Siami dan anaknya muncul. Semoga ini bisa menjadi renungan kita bersama bahwa negara ini membutuhkan orang-orang yang jujur dan berani seperti Bu Siami dan anaknya.
Sebagai guru yang terjun langsung apa yang dialami oleh setiap guru pada dasarnya hampir sama. Jika guru tersebut disiplin menjunjung ketertiban dan kejujuran dalam proses pasti akan mengalami kendala. Sehingga penulis mengamati kepala sekolah akan mengintervensi guru-guru yang melakukan evaluasi secara tertib dibanding guru yang hanya asal-asalan melakukan evaluasi atau asal menuntaskan siswa. Guru yang sering bolos atau ketika mengajar hanya memberikan tugas siswa ditinggal lebih sibuk mencari job dan ketika evaluasi memberikan evaluasi yang semaunya. Guru tersebut tidak bisa memberikan evaluasi secara objektif tidak bisa membedakan mana siswa yang pandai dan mana siswa yang harus menjadi perhatian justru lebih dihargai oleh pimpinannya atau kepala sekolah. Akan tetapi hal berbeda jika guru tersebut disiplin memberikan evaluasi secara jujur justru akan mendapatkan tekanan atau intervensi.
Saya juga ingin mencurahkan apa yang saya alami selama menjadi guru. Hal-hal yang membuat hatiku berteriak melihat betapa bobroknya system yang menaungiku. Sekolah yang seharusnya menjadi tempat bersemainya roh kejujuran justru menjadi tempat bersemainya kebobrokan. Kebohongan justru diajarkan atau dicontohkan oleh gurunya. Orientasi yang mengarah pada money oriented telah menciderai guru-guru di sekolah. Demi politik pencitraan yang senang sendiko dawuh alias asal bapak senang ini sehingga menjadikan setiap guru berlomba memanipulasi nilai demi politik citra sekolah. Ujian yang seharusnya mengajarkan kejujuran untuk menguji sejauh mana kemampuan siswa justru menjadi boomerang bagi guru. Setiap guru menjadi beban takut anaknya tidak lolos atau tidak tuntas sehingga menjadikannya menghalalkan segala cara untuk memenuhi target yang ditentukan oleh pembuat kebijakan.
Ini secuil kisah nyata yang saya alami sebagai guru yaitu pada tanggal 15 Juni 2011 di adakan rapat kecil kenaikan kelas di sekolah tempat saya bekerja yang diikuti oleh wali kelas muncul banyak nama yang dinyatakan tidak naik kelas karena tidak memenuhi standar yang ditentukan. Hal ini membuat kepala sekolah gusar sehingga terjadi tawar menawar agar anak tersebut dibantu dengan mengolah atau mengubah nilai tersebut. Kebetulan mata pelajaran  yang saya ampu menjadi mata pelajaran penentu jurusan sehingga kalau tidak tuntas tidak bisa naik kelas. Ada 12 anak dari 153 yang saya ajar tidak memenuhi atau mencapai kompetensi. Akhirnya dari berbagai pandangan ada 3 anak yang saya berikan perlakuan khusus yaitu karena satu anak  berprestasi dibidang olahraga dan dua orang lagi karena pertimbangan kesehatan. Pada tanggal 16 Juni 2011 pukul 03.20 am dini hari saya mendapat pesan singkat dari kepala sekolah untuk menghadap beliau sebelum apel pagi. Akhirnya pukul 07.45 am saya menghadap kepala sekolah. Beliau meminta kepada saya untuk menuntaskan semua anak-anak tersebut  padahal saya sudah mengikuti permintaan beliau dengan pendekatan hati saya sudah menuntaskan 3 anak di antara 12 anak yang tidak tuntas. Sehingga terjadi perdebatan karena saya tidak menuntaskan anak-anak tersebut karena pertimbangan dari beberapa aspek tidak memenuhi standar yang telah ditentukan yaitu tingkat kehadiran, pengumpulan tugas, penguasaan materi, belum mengikuti ulangan harian dan belum tuntas mengikuti kegiatan remedial. Tapi  apa boleh buat saya sebagai guru biasa dan baru mengajar dipaksa memberikan remedial lagi padahal jadwal remedial untuk pelajaran saya itu sudah dilakukan pada tanggal 9 Juni 2011. Saya pun sudah bersepakat dengan siswa untuk melayani proses remedial maupun ulangan susulan sampai tanggal 11 Juni 2011 sampai pukul 12.00 siang. Sebelumnyapun saya sudah mengumumkan kepada siswa dari satu bulan sebelum nilai pinal semua tagihan yang harus dipenuhi oleh setiap siswa. Saya sebagai guru mata pelajaran meminta guru bimbingan konseling dan wali  kelas untuk memberikan perhatian kepada anak-anak tersebut. Ternyata setelah nilai pinal pada tanggal 14 Juni 2011 ada 12 anak yang belum tuntas atau belum memenuhi kriteria ketuntasan minimal yang disebabkan karena ada yang belum mengikuti ulangan dan kegiatan remedial. Akhirnya dalam rapat kecil tanggal 15 Juni 2011 saya menuntaskan anak tersebut sebanyak 3 diantara 12 orang tersebut karena pertimbangan prestasi olahraga dan karena kondisi kesehatan.
Sungguh ironis guru diintervensi memberikan penilaian tidak sesuai dengan fakta dilapangan.  Anak yang sering bolos, tidak mengumpulkan tugas, tidak mengikuti ulangan dan tidak mengikuti program remedial diminta untuk dituntaskan. Saya memberikan data-data tentang anak-anak tersebut termasuk alasan saya mengapa tidak menuntaskan tetapi kepala sekolah tetap menginginkan saya memberikan perlakuan istimewa kepada anak-anak tersebut. Saya tetap pada pendirian saya karena tidak ada alasan saya untuk menuntaskan karena ini menciderai keadilan bagi anak-anak yang lain. Jika hal ini tetap dibiarkan maka saya yakin sekolah akan menjadi tempat bersemainya proses ketidak jujuran. Politik ketidak jujuran yang oleh Anies Baswedan (Rektor Univ. Paramadina) dalam suara anda di Metrotv disebabkan oleh kebutuhan, serakah dan sistem. Seharusnya kualitas yang harus diperhatikan bukan hanya semata-mata politik pencitraan untuk mempertahankan jabatan atau kekuasaan. Semoga ini menjadi perhatian kita bersama bahwa kejujuran dan integritas harus kita tanamkan sehingga bisa menghasilkan siswa yang cerdas dan berkarakter. Bukan siswa yang hanya lulus atau hanya naik kelas yang asal-asalan tanpa memperhatikan kualitas dari siswa tersebut.
Kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan tertinggi di sekolah diharapkan dapat mengarahkan guru-gurunya untuk bekerja secara professional dan jujur. Tidak hanya mempertimbangkan pencitraan dan mengesampingkan kualitas. Jika pola pembelajaran yang hanya mementingkan pencitraan bisa dipastikan suatu saat nanti generasi penerus akan menjadi buruh dinegerinya sendiri. Semoga saja akan muncul pemimpin yang berani untuk menegakkan kejujuran dan keadilan.  Pimpinan yang bisa meredam konflik dan bukan menciptakan konflik. Dunia ini milik orang yang berani yaitu berani melangkah, berani berbuat dan berani melakukan perubahan. Jika kepala sekolah tidak memiliki keberanian menegakkan kejujuran dan tidak bisa menghargai proses evaluasi dengan roh kejujuran maka pendidikan ini akan bisa dipastikan gagal untuk menciptakan insan yang cerdas dan berkarakter.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar