Senin, 08 Agustus 2011

Artikel

POLEMIK JAM MENGAJAR BAGI GURU BERSERTIFIKASI
oleh Maharromiyati, S. Pd

Pendidikan merupakan bagian terpenting dari kemajuan suatu bangsa. Tanpa pendidikan bisa dipastikan negara itu akan hancur. Mengingat pentingnya pendidikan ini maka pemerintah mengalokasikan 20% anggaran pendidikan dari APBN. Salah satu anggaran yang diperhatikan oleh pemerintah yaitu peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru. Guru menjadi tombak keberhasilan pendidikan sehingga tidak salah jika pemerintah menitikberatkan peningkatan kualitas guru.

Peningkatan kualitas guru dengan mengharuskan setiap guru memiliki kualifikasi akademik minimal strata satu (S1) dan mengajar sesuai dengan bidangnya serta dibuktikan dengan sertifikat pendidik. Program sertifikasi yang dibuat oleh pemerintah sangat kita hargai. Niat baik pemerintah untuk  meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru harus kita dukung bersama-sama. Akan tetapi dalam realita di lapangan banyak polemik mengenai sertifikasi yang dihadapi oleh guru. Amanat Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen pada pasal 35 ayat 2 beban kerja guru sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah sekurang-kurangnya 24 (dua puluh empat) jam tatap muka dan sebanyak-banyaknya 40 (empat puluh) jam tatap muka dalam 1 (satu) minggu. Amanat undang-undang ini sesungguhnya di luar batas mengingat di lapangan penyebaran guru itu tidak merata. Rebutan jam mengajar demi sertifikasi tidak terelakkan. Akibatnya orientasi tidak lagi pada peningkatan kualitas tetapi lebih pada mengejar materi.
Tuntutan untuk mengajar 24 jam sebenarnya kurang bijak karena tidak semua guru dapat memenuhi target mengajar tersebut. Pertanyaannya siapa yang bertanggungjawab dengan kekurangan jam mengajar guru. Mengapa tugas tambahan sebagai pengurus lab, wali kelas dan pembina ektrakurikuler tidak diperhitungkan. Apakah belajar itu hanya bertatap muka di kelas saja?. Apa yang menjadi alasan pemerintah menuntut guru untuk mengajar 24 jam tatap muka. Mengapa guru tidak dilibatkan untuk berdialog agar lebih bisa memahami kondisi di lapangan.
Tugas guru tidak hanya mengajar tetapi juga mendidik. Tuntutan guru mengajar 24 jam ini tidak menutup kemungkinan akan hanya sekedar mengajar tetapi melupakan tugasnya mendidik. Logikanya 24 jam mengajar itu akan mengajar lebih kurang 12 kelas. Satu kelas diisi oleh lebih kurang 35 anak berarti ada sekitar 420 anak yang harus diperhatikan oleh setiap guru mata pelajaran. Mampukah guru untuk memahami karakter 420 anak ini. Akibatnya guru hanya berkutat pada masalah mengajar, membuat perangkat pembelajaran, analisis ulangan, remedial dan pengayaan. Terus tugas mendidik untuk menyampaikan nilai-nilai sosial pembentukan karakter siswa akan terabaikan akibat guru sudah kelelahan mengejar beban target 24 jam tatap muka.
Semoga tulisan yang saya buat ini bisa menjadi renungan dan dicari solusi bersama demi kemajuan pendidikan di negeri tercinta ini. Jika para PNS non guru seperti Polri bisa mendapatkan remunerasi tanpa embel-embel yang terlalu ketat. Mengapa guru justru mendapatkan perlakuan yang berbeda?. Mengapa juga pemerintah terkesan setengah hati memberikan kesejahteraan kepada guru?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar