Jumat, 09 September 2011

Reviu

DI DEPAN KOTAK AJAIB

Di dalam tulisannya di depan kotak ajaib Kris Budiman menulis tentang televisi. Dia melihat persoalan menonton televisi dipahami sebagai praktek konsumsi dengan alasan karena persoalan bagaimana melakukan sesuatu dengan televisi. Berbagai aspek lingkungan di dalam rumah (interior) secara langsung dapat menentukan bagaimana orang menonton televisi. Faktor-faktor fisik tersebut menyangkut kesediaan tempat, jumlah pesawat televisi, serta penempatannya beserta benda-benda lainnya di ruang tertentu. Dalam hal pengaturan ruangan, faktor kesediaan merupakan sebuah persoalan penting yang mesti dipertimbangkan, di samping kebutuhan, nilai-nilai, dan dinamika interaksi anggota-anggota keluarga.

Kris Budiman menggunakan data action dengan melihat langsung aktivitas menonton televisi beberapa keluarga. Kemudian dia memperoleh suatu gambaran bahwa menonton televisi bukanlah aktivitas yang soliter, sendiri dan terpisah dari aktivitas-aktivitas yang lainnya. Sebaliknya, aktivitas menonton televisi itu pada dasarnya justru merupakan aktivitas sosial yang jalin-menjalin dengan tanggung jawab dan tugas-tugas rutin pengelolaan rumah tangga sehari-hari. Aktivitas menonton televisi kerap terjadi tanpa disertai sikap selektif. Seseorang menonton sesuatu program televisi bukan karena faktor selera, melainkan karena program itu sudah lebih dahulu dipilih oleh orang lain, biasanya ketika terdapat lebih dari satu orang yang terlibat di dalamnya dan ia ingin ada bersama yang lain, berkumpul, keputusan dalam memilih program merupakan aktivitas yang seringkali tidak sesederhana yang dikesankan. Pokok persoalannya adalah siapa yang berkuasa untuk menempatkan diri sebagai lokus kontrol di sekitar pemilihan program.
Menonton televisi dijabarkan secara tipologis oleh Kris Budiman sebagai berikut: Pertama, menonton televisi adalah tindakan menjalin dan atau memutuskan ikatan interpersonal. Dengan menonton televisi orang sekaligus dapat mempererat atau merenggangkan jalinan komunikasi antar pribadi satu dengan yang lain. Kedua, menonton televisi adalah mendapatkan beraneka pengalaman, bersantai, belajar, bermain, mengasuh, dan lain-lain. Ketiga, dengan kehadiran suaranya sebagai suara latar, tindakan menonton televisi adalah sekaligus menjadikannya sebagai teman yang setia yang bahkan bisa dijadikan sebagai indikator seperti halnya manusia. Ke empat, yang tidak kalah penting menonton televisi adalah sekaligus tindakan mengelola kekuasaan. Hal ini terlihat bukan saja dari tindakan memonopoli perangkat remot kontrol melainkan juga dari penggunaan televisi untuk mengawasi dan mendisiplinkan orang lain, sampai dengan perkara yang menyangkut perbedaan selera.
Kris Budiman membingkai tulisannya dengan empat teori yaitu teori konsumsi, teori konflik, teori material dan teori simbolik. Dengan teori konsumsi Kris melihat seluruh aktivitas menonton televisi dapat dikatakan sebagai praktek pengemasan dan pengorganisasian ruang dan waktu. Disamping menyediakan konteks bagi praktek konsumsi sesungguhnya ruang pun dapat dilihat sebagai objek konsumsi dan komoditas konsumsi ruang terhadap komoditas secara harfiah dan visual. Sedangkan dalam konteks waktu praktek menonton televisi dapat dilakukan dengan melakukan kegiatan-kegiatan yang lain. Kris Budiman menggunakan teori konflik karena adanya aktivitas konflik dalam menonton televisi yaitu pada perbedaan selera dan adanya tindakan mengelola kekuasaan untuk memegang kendali tontonan mana yang akan akan dinikmati. Potensi-potensi konflik dapat berkurang apabila jumlah penontonnya lebih sedikit atau berusia relatif sebaya. Memiliki pesawat televisi lebih dari satu buah pun tampaknya merupakan solusi yang paling jitu dan ideal untuk mengatasi konflik.
Dipandang dari dimensi simbolik televisi bersama dengan sejumlah teknologi domestik lainnya menduduki posisi sebagai objek konsumsi karena peran yang dimainkan di dalam sistem simbolik. Televisi merupakan sebuah objek simbolik qua unsur-unsur penataan rumah. Kehadiran televisi di dalam ruang tertentu dapat mengungkapkan sebuah preferensi, baik dalam hal desain, gaya, maupun selera penghuninya sebagaimana diperagakan dalam posisinya di dalam komposisi ruang. Dimensi yang terakhir yaitu material di mana televisi dapat pula dilihat sebagai benda yang dibuat dengan maksud untuk dipertukarkan, televisi sebagai sebuah komoditas atau setidak-tidaknya kandidat komoditas.
Selanjutnya Kris Budiman memberikan komentar bahwa penelitian tentang konsumsi media yang dipandang sebagai proses mengawasi atau membaca perlu dieksporasi lebih dalam lagi. Proses ini bukanlah semata-mata sebagai proses pemberian makna atau penerjemahan citra-citra televisual ke dalam ekspresi verbal, melainkan terlebih lagi sebagai proses semiosis. Asumsi yang mendasarinya adalah bahwa sebagai sebuah komoditas televisi tidak hanya memiliki nilai guna dan nilai tukar semata, melainkan juga nilai tanda. Proses semiosis televisi ini melibatkan sekaligus teks, konteks dan pembaca sebagai objek analisisnya. Kris juga berkomentar mengenai pelepasan dan pembuangan sisa-sisa konsumsi pun perlu mendapatkan porsi perhatian sendiri. Sisa-sisa konsumsi tentu saja harus dibuang, tetapi ironisnya agar bisa membuang sisa-sisa tersebut orang membutuhkan objek lain untuk digunakan, untuk dikonsumsi lebih lanjut. Terlihat bahwa proses konsumsi adalah proses yang bersiklus, yang terus berputar dan terjerat di dalam lingkaran konsumsi yang tiada batas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar