Kamis, 25 November 2010

Artikel

POTRET BURAM PENDIDIKAN INDONESIA
Oleh Maharromiyati, S. Pd
Guru SMA 2 Bae Kudus

Hari guru yang selalu diperingati setiap tanggal 25 November merupakan momentum yang tepat bagi semua yang terlibat dalam dunia pendidikan untuk melakukan instropeksi diri tentang apa yang telah dilakukan untuk kemajuan pendidikan anak bangsa. Pendidikan merupakan salah satu pilar negara yang bisa mendukung pembangunan tidak bisa dipandang sebelah mata.  Ada beberapa potret buram yang bisa dilihat dengan kasat mata.
Pertama; Anggaran Pendidikan
Pasal 31 ayat 4 UUD 1945 secara eksplisit menyebutkan “ Negara memperioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Sementara pasal 29 ayat 1 UU Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) secara eksplisit disebutkan “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari APBN pada sektor pendidikan dan 20 persen dari APBD”. Realitasnya anggaran biaya yang dikeluarkan belum maksimal menyangkut perioritas dan pemanfaatan dana itu sendiri. Hal ini bisa kita lihat mengenai alokasi dana untuk pendidikan dasar. Bantuan Operasional Siswa yang dikeluarkan oleh pemerintah nyatanya belum bisa menyelesaikan problem di pendidikan dasar. Masih banyak anak-anak bangsa yang belum menikmati bangku sekolah dasar karena masih banyaknya pungutan dari pihak sekolah. Pemanfaatan dana untuk pembiayaan pendidikan belum dilakukan optimal . Gedung-gedung dan sarana fasilitas pendidikan dibangun dengan pendekatan proyek sehingga orientasi untuk mencari keuntungan sedangkan kualitas dinomorduakan. Dalam hal lain banyak kegiatan pendidikan seperti penataran dan pelatihan dilaksanakan tidak tepat waktu. Misalnya seharusnnya lima hari hanya dilakukan tiga hari sedangkan biaya tetap lima hari sehingga ada pengelembungan anggaran. Jika ini dibiarkan tentu akan menghambat reformasi pendidikan dinegara ini.
Kedua; Kualitas Guru
Guru merupakan ujung tombak yang berperan langsung berhadapan dengan para siswa diharapkan bisa menjadi pelopor perubahan dalam melakukan reformasi pendidikan anak bangsa. Akan tetapi ini belum berjalan sebagaimana mestinya, guru terbelenggu dengan berbagai aturan yang dibuat. Undang-Undang Guru dan Dosen yang dibuat untuk melindungi para pendidik nyatanya tidak semua pihak bisa memahami. Akibatnya banyak aturan yang dibuat tumpang tindih dan akhirnya guru yang dirugikan.
Guru juga sebagai sutradara di sekolah seharusnya memiliki kebebasan dalam melakukan aktivitas pembelajaran dan evaluasi. Akan tetapi dalam realitanya di lapangan masih ada intimidasi dari pihak-pihak tertentu. Hal ini sangat bertentangan dengan UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen Pasal 14 (ayat 1. f ) Dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memiliki kebebasan dalam memberikan penilaian dan ikut menentukan kelulusan, penghargaan, dan / atau sanksi kepada peserta didik sesuai dengan kaidah pendidikan, kode etik guru, dan peraturan perundang-undangan. Adanya ujian nasional juga merupakan salah satu bukti nyata pelanggaran yang dilakukan pemerintah karena tidak sesuai dengan amanat Undang-Undang Guru dan Dosen.
Di lapangan masih banyak kita jumpai waktu guru habis disita oleh administrasi pembelajaran. selain itu masih banyak guru yang belum siap jika diberi kebebasan otoritas penuh dalam mendesain pembelajaran karena masalah kualitas lulusan. Masih banyak guru belum lulus Strata I (S-1) atau Diploma IV (D-IV) ataupun lulus hanya memenuhi kewajiban atau mencari gelar semata bukan pada orientasi peningkatan kualitas. Tidak bisa dipungkiri masih banyak yang belum menguasai bidangnya bahkan guru mata pelajaran tertentu harus mengajar mata pelajaran lain karena masalah untuk memenuhi standar jam mengajar. Selain itu masalah sertifikasi yang dilakukan pemerintah untuk meningkatkan kualitas dan kesejahteraan guru masih dalam angan belaka. Uang sertifikasi yang seharusnya digunakan untuk peningkatan kualitas nyatanya peningkatan gaya hidup. Hal ini terbukti para guru yang sudah sertifikasi banyak yang belum bisa komputer. Mereka mampu untuk membeli mobil tetapi untuk membeli lap top banyak yang tidak mampu. Mereka bisa belajar menyetir mobil tetapi kalau disuruh belajar komputer alasanya sudah tua tidak bisa. Sungguh ironis dana yang dikeluarkan pemerintah untuk peningkataan kesejahteraan dan dengan sejahtera diharapkan para guru termotivasi untuk meningkatkan kualitas nyatanya jauh dari harapan.
Ketiga; Kurikulum dan Evaluasi Belajar
Kurikulum setiap tahun selalu diperbaiki akan tetapi hasilnya juga sama dari kurikulum CBSA menjadi KBK kemudian berubah menjadi KTSP. Jika diamati hanya mengubah nama dan aplikasinya juga sama. Hal ini terjadi karena belum siapnya sekolah dalam hal ini guru untuk melakukan desain pembelajaran secara mandiri. Kendala di lapangan guru selama ini selalu dimanjakan dengan kurikulum dan desain  yang instan yang sudah disediakan kemudian bergeser dengan kurikulum dan desain pembelajaran yang dibuat sesuai dengan kebutuhan tingkat satuan pendidikan masing-masing.
Selain itu yang tidak kalah penting yaitu menngenai evaluasi hasil belajar. Hasil belajar merupakan ukuran apakah proses belajar itu telah dilaksanakan dengan baik. Dibutuhkan kesabaran dan kegigihan yang luar biasa. Ada anak yang ketika diajar hanya sekali langsung bisa menangkap materi dan ada juga bahkan banyak yang kesulitan menangkap materi pelajaran. Program remedial menjadi andalan dari siswa sehingga banyak siswa yang tidak mau belajar dan mengandalkan remidi. Belajar yang seharusnya menjadi kebutuhan sepertinya masih menjadi angan-angan. Hal ini bisa dilihat dari sikap dan gaya belajar dari siswa-siswa. Banyak yang siswa D3KT (datang, duduk, diam, kantin dan tidur). Bahkan ketika ulangan banyak yang mengandalkan contekan dan berdiskusi dengan teman. Siswa-siswa  dari pendidikan dasar sudah dimanjakan. Hasil nilai evaluasi murni yang dihasilkan siswa nyatanya itu merupakan nilai kebohongan karena ketika ujian nasional pihak sekolah ada yang membentuk tim siluman untuk membantu siswanya agar lulus. Nilai yang dihasilkan merupakan hasil yang semu yang tidak bisa menjadi patokan  kualitas siswa. Anggaran yang besar yang dikeluarkan negara untuk ujian nasional menjadi sia-sia karena hasilnya tidak sesuai harapan. Apalah artinya nilai ketika di dunia kerja banyak yang tidak terserap karena performan dari lulusan yang tidak memenuhi standar. Nilai hanya mengantarkan lulusan sampai tahap wawancara setelah itu kemampuan dan kehaandalan serta kreatifitasnya akan teruji apakah mampu untuk bersaing. Jika dibiarkan maka para guru dan semua yang terlibat berperan untuk menciptakan penonton dan buruh dinegerinya sendiri.
Keempat; Organisasi Profesi
Pada pasal 41 Undang-undang Guru dan Dosen ayat 1 dan 2  disebutkan Guru membentuk organisasi profesi yang bersifat independen dan organisasi profesi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 berfungsi untuk memajukan profesi, meningkatkan kompetensi, karier, wawasan kependidikan, perlindungan profesi, kesejahteraan, dan pengabdian kepada masyarakat. Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) merupakan organisasi yang diakui oleh pemerintah yang seharusnya independen dalam kenyataan dilapangan masih sering ditunggangi oleh berbagai kepentingan. Selama ini organisasi PGRI perjuangannya hanya menyuarakan kesejahteraan tetapi untuk realisasi peningkatan kualitas belum tersentuh. Kita berharap organisasi PGRI mampu berjalan sesuai dengan amanat Undang-Undang sehingga menjadi organisasi yang benar-benar independen dan memiliki dedikasi tinggi untuk peningkatan kualitas dan kesejahteraan guru.
Semoga ini menjadi koreksi kita bersama.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar