Selasa, 22 Februari 2011

CAROK


REVIEW

CAROK
KONFLIK KEKERASAN DAN HARGA DIRI ORANG MADURA

1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan oleh Latief Wijaya adalah deskriptif kualitatif dengan menggunakan metode penelitian etnografis yang mempelajari secara mendalam dan holistik salah satu peristiwa sosial budaya yang terjadi dalam masyarakat Madura yaitu carok. Segala informasi yang diperoleh tentang carok dicatat secara cermat dan rinci dari berbagai informan yang terdiri atas para pelaku carok, anggota keluarga atau kerabatnya, tetangga dekatnya, orang-orang yang mengetahui tentang kejadian carok, serta parat-aparat yudisial, khususnya aparat kepolisian dan aparat lingkungan rutan. Bahkan informasi dapat berasal dari siapa saja yang dapat memberikan penjelasan tentang seluk beluk carok.


2. Jenis Data Beserta Contohnya
Jenis data yang diperoleh oleh Latief Wijaya adalah data verbal yaitu data yang diperoleh dari hasil wawancara atau perbincangan dari informan yang dianggap mengetahui tentang carok. Contoh salah satu data verbal hasil wawancara latief dari salah satu informannya yang bernama Gutte Bakir, “Mon lo’ bangal acarok ja’ ngako oreng madura” (jika tidak berani melakukan carok jangan mengaku sebagai orang madura).  Selain data verbal juga data action yaitu data yang diperoleh dengan mengadakan suatu tindakan melalui pengamatan. Contoh salah satu data action yaitu “kenyataan di lapangan tidak pernah ditemukan orang madura di pedesaan yang tidak memiliki celurit atau jenis senjata tajam lainnya, meskipun tidak dalam keadaan menghadapi musuh. Bahkan tidak jarang, memiliki lebih dari satu jenis”.


3. Mekanisme Data dikumpulkan
Mekanisme data dikumpulkan yaitu dengan berada di lapangan selama 10 bulan, yaitu sejak awal Agustus 1995 hingga akhir Juni 1996. Selama masa tersebut, Latief Wijaya mengumpulkan data dengan cara menerapkan metode penelitian observasi partisipasi (participant observation) tidak langsung, yang dilengkapi dengan pendekatan life history. Beliau hanya memfokuskan pengamatan pada peristiwa carok yang telah terjadi, minimal tahun sebelum penelitian lapangan dilakukan, yaitu peristiwa-peristiwa carok yang terjadi pada tahun 1994 dan tahun-tahun sebelumnya. Pertimbangan utamanya adalah untuk mengantisifasi munculnya akibat-akibat negatif terhadap dirinya akibat suasana panas yang ditimbulkan oleh setiap peristiwa carok, baik pada lingkungan keluarga perilaku maupun pada lingkungan sosial. Selain melakukan observasi Latief Wijaya juga melakukan wawancara kepada orang-orang yang mengetahui mengenai carok. Langkah awal yang dilakukannya dalam pengumpulan data yaitu pengumpulan berkas-berkas Berita Acara Penyelidikan (BAP) berbagai peristiwa carok baik dari kantor kepolisian sector (Polsek) maupun berkas-berkas Berita Acara Persidangan dari Kantor Pengadilan Negeri wilayah kabupaten Sampang  dan Bangkalan. Langkah kedua yang beliau lakukan adalah akurasi informasi dan data awal. Langkah berikutnya, beliau melakukan penjajakan dan pengamatan awal ke lokasi-lokasi peristiwa carok yang terpilih. Semua hasil wawancara dan pengamatan (observasi) sehari-hari dicatat secermat dan serinci mungkin dan dikumpulkan sehigga menjadi satu catatan lapangan atau fieldnotes.

4. Kerangka Teori yang Mendasari Penelitian
Kerangka teori yang mendasari penelitian itu yaitu teori tentang kekerasan, alur teori dalam membingkai data penelitian menjadi etnografi yaitu: Pertama, teori ekologi cultural (cultural ecology) lebih menekankan perhatian pada hubungan manusia dengan lingkungan. Keterbatasan alam membatasi ketersediaan sumber-sumber pilihan tingakah laku akan menyebabkan konflik makna dan akses terhadap sumber-sumber ini. Teori ekologi kultural sangat berpengaruh karena menempatkan faktor lingkungan sebagai penyebab konflik, khususnya dalam masyarakat petani. Kedua, teori materialis kultural (materialist cultural) dilandasi oleh aspek ekologi kultural yang menekankan pentingnya penjelasan kausal infrastruktur, hubungan antara kondisi material dengan demografi, organisasi kerja, interaksi dengan lingkungan , kompetisi dan seleksi antara kelompok-kelompok dalam lingkungan ini, serta motivasi-motivasi manusia dalam perang yang pertama kali didorong oleh semua factor ini bukan oleh keyakinan dan sikap-sikap yang terpola secara budaya. Ketiga, teori politik atau ekonomi politik (political or political economy) memusatkan perhatian pada sistem saling  ketergantungan yang lebih luas antara kelompok-kelompok sosial dan masyarakat, persainga kekuasaan yang berkaitan, tidak hanya dengan faktor-faktor penggunaan sumber-sumber, tetapi juga dengan sistem politik dan memberikan perhatian pada struktur-struktur politik yang saling bersaing di tingkat lokal maupun internasional. Keempat, teori tentang biologi-evolusi  atau bio-sosial yang diilhami oleh sosiologi pertama-tama tidak membahas ekspresi kekerasan politik dari kelompok-kelompok social, tetapi melihat faktor-faktor yang mendukungnya. Kelima, teori psikologis dan psikoanalitis difokuskan pada frustasi sebagai sebab utama kekerasa. Keenam, teori deskriptif histories atau partikularis membantu deskripsi sosiologis dan antropologis tentang asal usul dan perkembangan konflik dan kekerasan di dalam suasana khusus, karena kekerasan dan konflik berlangsung sepanjang waktu, dengan fokus perhatian pada detil-detil situasional. Terakhir, yaitu teori tentang kekerasan dalam perspektif simbolik telah diakui ikut memberikan sumbangan pada situasi pemahaman tentang dimensi gagasan yang relatif otonom  dan simbolisme kekerasan yang bersifat implisit.

5. Pertanyaan atau Rumusan Masalah yang Diajukan Peneliti
Pertanyaan atau rumusan masalah yang diajukan peneliti yaitu apa makna kultural carok (cultural behavior), apa saja yang diketahui (dan dipikirkan) oleh orang madura tentang carok (cultural knowledge), mengapa dan bagaimana carok dilakukan (what people do), dan aspek-aspek sosial budaya lain yang menyertai terjadinya carok.

6. Argumen Peneliti atau Jawaban yang Diberikan atas Pertanyaan yang Diajukan.
A. Kondisi Sosial Budaya Madura
    1) Letak dan Keadaan Alam
Kondisi alam yang gersang dan tandus bisa menyebabkan terjadinya konflik dan akhirnya diselesaikan dengan carok karena rebutan air terutama pada musim kemarau.
2)      Penduduk dan Mata Pencaharian
Penduduk Madura termasuk cukup padat.dengan bermata pencaharian yang bergantung pada sektor agraris. Disamping sebagai petani aktivitas-aktivitas di bidang peternakan, perdagangan, kelautan (nelayan, perikanan, dan pelayanan), dan usaha kerajinan merupakan sumber mata pencaharian alternatif. Berdasarkan hasil pemantauan lapangan yang dilakukan oleh Latief Wijaya perdangan carok biasanya dilakukan dipasar desa (ibu kota kecamatan) pada hari pasaran. Carok biasanya ditaruh secara tersembunyi di balik tempat penjualan. Hal ini dimaksudkan agar mereka terhindar dari operasi yang biasa dilakukan oleh aparat kepolisian.
3)      Pola Pemukiman
Hasil pengamatan di lapangan oleh Latief Wijaya menunjukkan bahwa hamper di seluruh kawasan pedesaan madura ditemukan banyak pemukiman yang disebut kampong meji, yaitu kumpulan-kumpulan atau kelompok-kelompok pemukiman penduduk desa yang satu sama lain saling terisolasi. Konsekuensi sosial kampong meji terutama adalah solidaritas internal antar masing-masing anggota atau penghuni menjadi sangat kuat. Apabila terjadi pelecehan harga diri terhadap salah seorang anggota keluarga, maka akan selalu memaknai sebagai pelecehan terhadap semua keluarga. Lebih-lebih jika pelecehan tersebut menimpa anggota keluarga perempuan (istri). Konsekuensi lain dalam lingkup sosial yang lebih luas, ikatan solidaritas di antara sesama penduduk desamenjadi sangat rapuh sehigga semakin memperbesar peluang terjadinya disintegarasi sosial atau konflik. Tidak mustahil carok menjadi sangat potensial.
4)      Stratifikasi Sosial dan Tingkatan Bahasa
Kasus carok banyak dilakukan oleh penduduk yang tidak berpendidikan dan pyang berpendidikan rendah. Pada umumnya para pelaku carok adalah orang-orang yang selalu menggunakan bahasa mapas dan berasal dari lapisan sosial bawah.

5)      Sistem Kekerabatan
Ikatan kekerabatan dalam masyarakat maduara terbentuk melaui keturunan-keturunan baik dari keluarga berdasarkan garis ayah maupun garis ibu. Tetapi pada umumnya ikatan kekerabatan antar sesame keluarga ibu lebih erat dari pada garis keturunan ayah sehingga cenderung mendominasi.
6)      Bala dan Moso
Bala merupakan teman yang berasal dari berbagai lingkungan sosial. Di antaranya, teman dari lingkungan ketetanggaan, teman dari lingkugan kerja dan teman dari lingkungan remo. Kebalikan dari teman (bala) adalah musuh (moso) adalah seseorang atau kelompok orang yang harus dibunuh karena telah dianggap melakukan pelecehan harga diri.
7)      Sketsa sejarah Kekerasan di Madura
Kekerasan di Madura terjadi sebelum zaman Kolonial belanda sampai sekarang.
8)      Tradisi Remo
Remo adalah pesta yang berkaitan dengan carok yang merupakan pesta tempat berkumpulnya para orang jago dan blater dari seluruh desa. Maka  seseorang yang dikenal sebagai orang jago akan merasa belum lengkap predikat kejagoannya jika belum ikut anggota remo.
        
B. Kasus-Kasus Carok dan Motifnya.
 1.  Kasus-kasus carok bermotif gengguan terhadap istri
      a. Cemburu membawa mati
      b. Cemburu dan persaingan bisnis
      c. Cemburu pada tetangga
   2. Kasus-kasus carok yang bermotif selain gangguan terhadap istri
      a. Mempertahankan martabat
      b. Merebut harta warisan
      c. Membalas dendam kakak kandung
            Latief Wijaya beragumentasi bahwa semua kasus carok diawali oleh konflik. Meskipun konflik tersebut dilatar belakangi oleh permasalahan yang berbeda tetapi semuanya mengacu pada akar yang sama yaitu perasaan malu karena pelecehan harga diri / martabat. Untuk memulihkan harga diri yang dilecehkan mereka melakukan carok yang ternyata selalu mendapat dukungan dari lingkungan social.

7. Kesimpulan Penelitian/Etnografi
A. Carok adalah institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat madura yang memiliki relasi sangat kuat dengan factor-faktor struktur budaya, struktur sosial, kondisi sosial ekonomi agama dan pendidikan.
B. Carok sebagai suatu institusionalisasi kekerasan yang secara histories telah dilakukan oleh sebagian masyarakat madura sejak beberapa abad lalu, selain mempunyai kaitan dengan faktor-faktor tersebut, tampaknya juga tidak dapat dilepaskan dari faktor politik, yaitu lemahnya otoritas negara/ pemerintah sejak sebelum dan sesudah kemerdekaan dalam mengontrol sumber-sumber kekerasan, serta ketidakmampuan memberikan perlindungan terhadap masyarakat akan rasa keadilan.
C.  Carok selalu dilakukan sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri terutama gangguan terhadap anak perempuan/ istri yang menyebabkan orang madura malu. Dalam konteks ini carok sebagai institusionalisasi kekerasan mencerminkan monopoli kekuasaan suami/laki-laki terhadap istri/perempuan. Monopoli kekuasaan ini antara lain ditandai oleh perlindungan secara berlebihan (overprotection) terhadap istri (perempuan), seperti tampak pada pola pemukiman taneyan lanjang, tata cara penerimaan tamu (khususnya laki-laki), cara berpakaian dan model pakaian (fashion), kebiasaan melakukan perkawinan antarkeluarga (kin goup endogamy), khususnya perkawinan di bawah umur, dan sebagainya.
D.  Selain sebagai tindakan pembalasan terhadap orang yang melakukan pelecehan harga diri, carok oleh sebagian besar pelakunya dipandang sebagai alat untuk meraih posisi atau status sosial yang lebih tinggi sebagai orang jago dalam lingkungan komunitas mereka atau dalam lingkungan dunia blater. Bahkan dengan posisi dan status sosial ini mereka dapat pula meraih kedudukan formal dalam lingkungan institusi formal atau birokrasi yaitu sebagai kepala desa. Dengan demikian carok dipandang oleh sebagian pelakunya sebagai suatu alat untuk meperoleh kekuasaan (means of power).
E.   Upaya nabang yang pada pinsipnya merupakan komunitas hukum yang sangat menguntungkan semua pihak yang terlibat baik secara ekonomi maupun sosial budaya pada gilirannya semakin memperkuat pandangan carok sebagaialat untuk memperoleh kekuasaan. Keberhasilan para pemenang carok dalam upaya nabang justru semakin memperkuat legitimasi sosial mereka sebagai orang jago. Selain itu, kebiasaan melakukan upaya nabang merupakan faktor yang ikut berperan mendorong terjadinya dan sekaligus melestarikan eksistensi carok sebagai institusionalisasi kekerasan dalam masyarakat madura.
F.   Predikat sebagai jago merupakan kebanggan tersendiri bagi para pemenag carok. Karena konsep kebudayaan antara lain mencakup pula sistem komunikasi, dalam arti antara para pendukung kebudayaan saling mempertukarkan simbol-simbol budaya baik merupakan sikap meupun perilaku yang bermuatan makna, maka carok bagi sebagian besar pelakunya dianggap sebagai alat untuk mengkomunikasikan simbol-simbol tentang sikap dan perilaku kekerasan pada lingkungan kerabat dan lingkungan sosialnya. Hal ini tampak pada perilaku hamper semua pelaku carok, yang dengan sengaja dan penuh rasa bangga menyimpan benda-benda yang pernah digunakan ketika carok dipekarangan rumah. Tindakan ini justru sangat memungkinkan terjadinya kekerasan berikutnya. Dalam konteks ini, carok  bukan merupakan cara penyelesaian konflik melainkan lebih merupakan proses reproduksi kekerasan yang akan selalu menimbulkan tindakan-tindakan kekerasan baru (carok turunan).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar